Mohon bersabar, tunggu sebentar ya...

Sejarah Aksara Batak

SEJARAH


Para ahli umumnya meyakini bahwa surat Batak merupakan salah satu turunan aksara Brahmi India melalui perantara aksara Kawi, berdasarkan studi perbandingan bentuk aksara-aksara Nusantara yang pertama kali dijabarkan oleh Holle dan Kern. Namun begitu, sejarah evolusi surat Batak tidak dapat dirunut dengan pasti karena surat Batak sejauh ini hanya ditemukan pada materi yang umumnya tidak berumur lebih dari 200 tahun. Surat Batak lazim ditulis pada media yang rentan rusak di iklim tropis, dan tidak ada prasasti atau peninggalan tua lainnya yang disetujui sebagai purwarupa langsung surat Batak.

tondibatak.id Sumber: wikipedia

Surat Batak diduga pertama kali berkembang di wilayah Angkola-Mandailing kemudian menyebar ke arah utara hingga wilayah Karo.

Kerabat paling dekat dari surat Batak adalah aksara-aksara Sumatra bagian selatan atau dikenal sebagai Surat Ulu. Baik rumpun surat Batak maupun aksara-aksara Sumatera Selatan berkembang di wilayah pedalaman Sumatra yang relatif lambat menerima pengaruh luar. Karena itulah, ketika Sumatra menerima pengaruh Islam yang signifikan sejak abad ke-14, kedua wilayah tersebut mempertahankan penggunaan aksara turunan Indik selagi wilayah pesisir mengadopsi penggunaan abjad Arab dan Jawi. Surat Batak diduga pertama kali berkembang di daerah Angkola-Mandailing, barangkali tidak jauh dari perbatasan Sumatera Barat. Dari Mandailing, aksara Batak menyebar ke arah utara menuju wilayah Batak Toba, kemudian Simalungun dan Pakpak, hingga akhirnya mencapai wilayah Karo yang paling belakangan menerima surat Batak. Meski terakhir menerima surat Batak, daerah Karo dalam perkembangannya menjadi daerah dengan tradisi penggunaan surat Batak yang paling kental dan bertahan paling lama pasca-kemerdekaan.

Salah satu deskripsi dan tabel surat Batak paling awal oleh penulis asing dapat ditemukan dalam buku History of Sumatra oleh William Marsden yang dicetak pada tahun 1784. Namun selain itu, tidak banyak yang diketahui mengenai bahasa, sastra dan surat Batak di luar masyarakat Batak sendiri hingga pertengahan abad ke-19. Pada tahun 1849, Lembaga Penginjil Belanda menugaskan ahli bahasa Herman Neubronner van der Tuuk untuk mempelajari bahasa Batak dengan tujuan menghasilkan kamus, materi tata bahasa, dan terjemahan Injil yang layak untuk bahasa tersebut. Pada tahun 1851, ia tiba di Sumatra dan akhirnya tinggal di kota pelabuhan Barus. Ia rutin menjelajahi pedalaman ranah Batak dari tahun 1853 hingga kepergiannya dari Sumatra pada tahun 1857. Berdasarkan studi dan pengalamannya dengan masyarakat Batak, Van der Tuuk menghasilkan materi komprehensif mengenai tradisi lisan dan tulis Batak yang hingga kini masih masih menjadi rujukan dasar dalam berbagai studi Batak.


Media

Surat Batak secara tradisional ditulis di sejumlah media, di antaranya yang paling lumrah adalah bambu, tulang, dan kulit kayu. Naskah dengan media-media tersebut dapat ditemukan dalam ukuran dan tingkat kerajinan yang bervariasi. Tulisan sehari-hari umum digurat pada permukaan bambu atau tulang dengan pisau kecil. Guratan ini kemudian dihitamkan dengan jelaga untuk meningkatkan keterbacaan. Bambu dan tulang yang ditulisi oleh surat Batak lumrah dimanfaatkan sebagai perkakas sehari-hari, misal sebagai tabung penyimpanan pinang atau kalung sekaligus jimat penolak bala. Kulit kayu khusus digunakan untuk naskah pustaha yang digunakan kaum pendeta. Untuk membuat pustaha, kulit dalam pohon gaharu (Aquilaria malaccensis) dipotong dan dihaluskan menjadi lembar panjang yang disebut laklak. Panjang lembar ini bisa berkisar antara 60 cm hingga 7 m, tetapi pustaha terbesar yang diketahui (kini disimpan di Tropenmuseum, Belanda) memiliki panjang hingga 15 m. Lembar laklak ini kemudian dilipat-lipat, dan kedua ujungnya dapat direkatkan pada sampul kayu bernama lampak yang sering kali memiliki ukiran kadal Boraspati. Berbeda dengan naskah bambu dan tulang, naskah pustaha ditulis dengan tinta menggunakan pena dari rusuk daun aren (Arenga pinnata) yang disebut suligi atau pena dari tanduk kerbau yang disebut tahungan. Kertas baru digunakan dengan jumlah yang terbatas pada pertengahan abad ke-19 ke atas, namun bambu, tulang, dan kulit kayu terus digunakan sebagai media utama penulisan aksara Batak hingga abad ke-20 ketika tradisi tulis aksara Batak mulai menghilang.


Penggunaan

Surat Batak terdiri dari beberapa varian yang digunakan untuk menulis enam bahasa Batak: Angkola, Karo, Pakpak, Mandailing, Simalungun, dan Toba. Kaum pendeta Batak kadang digambarkan sebagai satu-satunya pengguna surat Batak, tetapi kemampuan membaca dan menulis surat Batak tersebar dalam berbagai lapisan masyarakat Batak dan tidak jarang ditemukan perkakas sehari-hari yang diguratkan dengan surat Batak oleh pemiliknya masing-masing. Dalam kehidupan sehari-hari, masyarakat Batak pra-kemerdekaan menggunakan surat Batak untuk beberapa fungsi tertentu seperti penulisan naskah pustaha, surat menyurat, dan ratapan.

tondibatak.id Sumber: wikipedia

Kalender Batak (porhalaan) yang digurat di tulang, koleksi Museum Anak-anak Indianapolis, Ratapan Batak Karo (bilang-bilang) pada tabung bambu, koleksi Tropenmuseum, dan Sejumlah pustaha koleksi Museo Antropologia Firenze

Pustaha merupakan panduan dan catatan pribadi pendeta adat Batak (datu) mengenai ilmu kedukunan (hadatuan). Pustaha umumnya dimulai dengan daftar datu yang mewariskan ilmunya secara turun-temurun hingga penulis pustaha yang bersangkutan, diikuti dengan pembahasan ilmu hadatuan yang mencakup namun tidak terbatas pada resep obat-obatan, cara membuat jimat penolak bala, menerapkan atau menghilangkan kutukan, serta penentuan hari baik-buruk melalui astrologi dan metode ramalan lainnya. Isi pustaha digubah menggunakan varian bahasa Batak arkais yang disebut hata poda, secara harfiah berarti "bahasa amanat". Bahasa ini khusus digunakan oleh para datu dan calon datu di seantero ranah Batak untuk mempermudah komunikasi antarindividu yang sering kali bahasa ibunya berbeda-beda. Karena sifatnya sebagai catatan pribadi dan bahasanya yang arkais, informasi dan maksud persis di dalam pustaha sering kali sulit dipahami.

tondibatak.id Sumber: wikipedia

Pendeta atau datu Batak dengan pustaha yang sedang digelar.

Dalam tradisi sastra Batak, hanya genre ratapan yang umumnya dituliskan. Ratapan Batak (disebut bilang-bilang dalam bahasa Karo, andung dalam bahasa Mandailing, dan sumansuman dalam bahasa Simalungun) merupakan keluh kesah mengenai cinta atau nasib pilu yang digubah dalam bentuk prosa. Teks ini biasanya diguratkan pada bambu, tulang, dan perkakas sehari-hari oleh pemilik benda bersangkutan. Ratapan Karo dan Simalungun sering kali ditemukan pada bambu dan perkakas yang diukir dengan kerajinan tinggi, sementara ratapan Mandailing umumnya hanya ditemukan pada bambu polos. Pada benda-benda tertentu, penggalan ratapan hanya digunakan sebagai teks pengisi dalam komponen pembentuk jimat.

Aksara Batak lazim digunakan oleh masyarakat awam untuk kegiatan surat-menyurat dengan media bambu, meski beberapa surat kertas juga diketahui. Tidak banyak tipe naskah ini yang kini tersisa karena kebanyakan surat Batak hanya berisikan pesan pendek yang kemudian dibuang setelah perihal yang bersangkutan terselesaikan. Terdapat pula jenis surat bernama pulas yang digunakan untuk menyampaikan tuntutan dan ancaman, misal untuk membayar utang atau mengembalikan sandra. Surat ancaman ini selalu disertai dengan miniatur senjata atau batuapi untuk mempertegas pesan yang disampaikan. Pulas terutama umum digunakan di daerah Karo, meski penggunaannya juga tercatat di daerah Batak lainnya. Pemilik perkebunan tembakau di Deli abad ke-19 kerap menerima surat ancaman semacam ini dari masyarakat Karo yang tanahnya sering kali disengketakan. Tak jarang pula para mengirim pulas tersebut menindaklanjuti ancaman mereka dengan membakar gudang dan perkebunan pada tanah yang dipermasalahkan.

Misionaris Kristen Jerman yang mulai aktif di ranah Batak pada tahun 1860 awalnya menggunakan surat Batak dalam penyebaran dakwah mereka karena dinilai lebih cepat dan mudah diterima oleh masyarakat lokal dibanding huruf Latin yang perlu diajarkan terlebih dulu. Hal ini mendorong berkembangnya teknologi cetak untuk memproduksi buku-buku bersurat Batak secara massal, terutama buku pelajaran dan terjemahan Injil yang menjadi bahan pengajaran dalam sekolah-sekolah misionaris. Beberapa percetakan yang memproduksi materi bersurat Batak antara abad ke-19 hingga 20 adalah percetakan Elberfeld di Jerman, Laguboti di pesisir selatan Danau Toba, dan Landsdrukkerij atau Percetakan Negeri di Batavia.


Kemunduran

Bersamaan dengan masuknya pengaruh Kristen maupun Islam di suatu wilayah Batak, tradisi tulis tradisional di daerah yang bersangkutan umumnya mengalami kemunduran. Meski misionaris Kristen awalnya mendukung penggunaan surat Batak dan mengembangkan teknologi cetak surat Batak untuk kegiatan Zending/penginjilan mereka, penggunaan aksara ini tidak didukung semua pihak dan tak jarang penginjil bangsa asing maupun lokal melaksanakan pemusnahan pustaha dan segala benda bersurat batak. Hal serupa juga terjadi di wilayah Batak yang menerima pengaruh Islam seperti Mandailing, Partibi, dan Sipirok karena pengaruh kaum Padri, sehingga tradisi tulis-menulis surat Batak hanya bertahan di pedalaman ranah Batak. Beberapa buku cetak Batak masih diproduksi setidaknya hingga tahun 1916, namun memasuki abad ke-20 masyarakat Batak yang telah terpapar dengan edukasi modern kian memilih huruf Latin untuk fungsi sehari-hari sehingga produksi buku cetak Batak berkurang perlahan-lahan. Ketika Jepang mulai menduduki Indonesia pada tahun 1942, Jepang membakar percetakan Laguboti dan melaksanakan pemusnahan buku-buku yang diasosiasikan dengan kegiatan misionaris asing, termasuk buku-buku cetak dengan surat Batak, sehingga produksi surat Batak cetak di Sumatera Utara terhenti total dan tidak lagi kembali sebagaimana semula pada periode pasca-kemerdekaan.


Penggunaan kontemporer

Dalam ranah kontemporer, surat Batak telah menjadi bagian dari pengajaran muatan lokal di Sumatera Utara sejak 1980-an dan dapat ditemukan pada papan nama tempat-tempat umum tertentu. Pada Juni 1988, sebuah lokakarya yang berlangsung di Medan berupaya untuk menghasilkan suatu standar tunggal dari varian-varian surat Batak yang telah ada. Lokakarya ini menetapkan satu set aksara yang disederhanakan dengan beberapa tambahan untuk bunyi asing serta angka. Namun begitu, tercatat bahwa lokakarya tersebut dibahas dan diseminarkan oleh panitia yang tidak memiliki anggota ahli sastra Batak maupun filolog surat Batak. Akibatnya, set aksara yang dihasilkan lokakarya tersebut memiliki banyak pilihan bentuk janggal yang jarang atau tidak pernah ditemui dalam naskah Batak otentik, dan peneliti seperti Uli Kozok menilai hasil lokakarya ini sangat menyimpang dari penulisan Batak asli. Hasil lokakarya ini tidak pernah diberlakukan secara resmi ataupun digunakan secara luas, meski beberapa cuplikan tabelnya kadang dapat ditemukan di internet. Pada umumnya, sedikit sekali masyarakat Batak kontemporer yang pernah melihat teks Batak otentik karena budaya tulis tradisional yang berkurang drastis dan percetakan surat Batak yang musnah pada pertengahan abad ke-20. Pada abad ke-21, surat Batak hanya sesekali digunakan untuk fungsi ornamental, dan satu-satunya "naskah" bersurat Batak yang masih sering dihasilkan di ranah Batak kontemporer adalah tiruan pustaha sebagai cendramata di pusat-pusat pariwisata seperti Parapat dan Tomok. Akibatnya, surat Batak yang kini diajarkan sering kali terdistorsi atau banyak menyimpang dari penulisan dalam naskah-naskah asli tanpa disadari oleh penulis masing-masing. Salah satu contohnya dalam publikasi resmi misal contoh Surat Batak dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia Edisi III yang dicetak tahun 2002.

tondibatak.id Sumber: wikipedia

Contoh penulisan surat Batak kontemporer yang terdistorsi (kiri) dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia edisi III yang dicetak pada tahun 2002, dibandingkan dengan penulisan berdasarkan naskah Batak otentik (kanan). Selain bentuk hurufnya yang sangat terdistorsi, contoh kiri juga memiliki sejumlah kesalahan ortografis yang tidak pernah terjadi dalam naskah Batak asli.



BENTUK


Aksara dasar

Aksara dasar (ina ni surat) dalam surat Batak merepresentasikan satu suku kata dengan vokal inheren /a/. Terdapat 19 aksara dasar yang dimiliki semua varian aksara Batak, sementara beberapa aksara dasar yang hanya digunakan pada varian tertentu. Bentuknya dapat dilihat sebagaimana berikut:

tondibatak.id Sumber: wikipedia

Bentuk-bentuk di atas merupakan bentuk yang digeneralisasi, tidak jarang suatu naskah menggunakan varian bentuk aksara atau tarikan garis yang sedikit berbeda antara satu sama lainnya tergantung dari daerah asal dan media yang digunakan.

Aksara i () dan u () hanya digunakan untuk suku kata terbuka, misal pada kata dan ina ᯤᯉ dan ulu ᯥᯞᯮ. Untuk suku kata tertutup yang diawali dengan bunyi i atau u, digunakanlah aksara a ( atau ) bersama diakritik untuk masing-masing vokal, misal pada kata indung ᯀᯪᯉ᯲ᯑᯮᯰ dan umpama ᯀᯮᯔ᯲ᯇᯔ.


Diakritik

Diakritik (anak ni surat) adalah tanda yang melekat pada aksara utama untuk mengubah vokal inheren aksara utama yang bersangkutan, bentuknya dapat dilihat sebagaimana berikut:

tondibatak.id Sumber: wikipedia

Tabel berikut menunjukkan bagaimana diakritik melekat pada aksara dasar ka dalam masing-masing varian aksara:

tondibatak.id Sumber: wikipedia

Tanda baca

Teks tradisional Batak ditulis tanpa spasi antarkata (scriptio continua) dan normalnya tidak menggunakan tanda baca. Namun begitu, tanda baca bernama bindu kadang digunakan pada teks tertentu. Tanda baca ini sering kali bersifat dekoratif dan memiliki banyak variasi bentuk. Bindu godang umumnya digunakan untuk menandakan awal teks pada naskah pustaha, sementara bindu pinarjolma digunakan untuk menunjukan awal teks pada naskah bambu. Bindu na metek dan pinarboras digunakan untuk memisahkan antarbab atau bagian-bagian tertentu teks. Bindu judul kadang digunakan untuk memisahkan antara judul dan isi teks dalam satu baris kalimat. Bindu pangolat kadang digunakan menandakan disambiguasi pada kata atau istilah tertentu.

tondibatak.id Sumber: wikipedia


ORTOGRAFI


Ligatur -u

Dalam penulisan Mandailing, Pakpak, Simalungun, dan Toba, diaktirik -u sering kali ditulis bersambung sehingga membentuk ligatur dengan aksara dasar bersangkutan. Ligatur tersebut dapat dilihat sebagaimana berikut:

tondibatak.id Sumber: wikipedia

Penulisan suku kata tertutup

Pada penulisan suku kata tertutup yang berpola konsonan-vokal-konsonan, diakritik vokal yang normalnya menempel pada aksara dasar pertama ditempatkan ulang agar menempel dengan aksara dasar kedua dan diaktrik pemati. Aturan ini berlaku untuk semua varian aksara Batak, dan penerapannya (menggunakan contoh varian Batak Karo) dapat dilihat sebagaimana berikut:

tondibatak.id Sumber: wikipedia

Penulisan diakritik -ng dan -h

Apabila suatu suku kata menggunakan diakritik vokal yang menempel di sebelah kanan aksara dasar, diakritik -ng dan -h ditulis tidak menempel pada aksara dasar namun diaktrik vokal yang bersangkutan. Penerapannya (menggunakan contoh Batak Karo) dapat dilihat sebagaimana berikut:

tondibatak.id Sumber: wikipedia

Contoh teks

Berikut adalah sebuah ratapan Batak Karo pada bambu dari koleksi Museum fur Völkerkunde Berlin no. IC 39908a. Alih aksara dan terjemahan disadur dari Kozok (1999):

tondibatak.id Sumber: wikipedia

Blok unicode

Aksara Batak telah ditambahkan ke dalam standar Unicode versi 6.0 sejak Oktober 2010 dalam rentang U+1BC0–U+1BFF:

tondibatak.id Sumber: wikipedia



Suku Batak terkonsentrasi di Sumatera Utara terutama di kawasan Danau Toba, dan terbagi ke dalam enam puak, yaitu Toba, Mandailing, Angkola, Pakpak, Simalungun dan Karo. Keenam puak tersebut memiliki ciri khas masing-masing dalam hal tradisi, baik lisan maupun yang tertulis.

Sangat banyak tradisi-tradisi yang diturunkan dari generasi ke generasi seperti poda (petuah-petuah), kuliner, gorga (ornamen), dan lain-lain yang menjadi ciri khas Suku Batak. Seiring berjalannya waktu, warisan-warisan tersebut ada mengalami perubahan yang diakibatkan oleh beberapa hal, seperti pengaruh budaya lain, perkembangan teknologi, distorsi informasi, perubahan pola pikir atau hal-hal yang lain. Salah satu penyebab terjadinya hal-hal tersebut karena warisan-warisan tersebut tidak didokumentasi dengan baik. Apabila hal ini semakin berkelanjutan, klaim budaya akan menjadi ancaman yang serius terhadap warisan leluhur yang sangat tongam ini. Untuk menjaga hal tersebut, diperlukan tindakan proteksi dan konservasi terhadap warisan-warisan leluhur, salah satunya melalui pendataan.

tondibatak.id Sumber: batakologi.id



Berbicara tentang sejarah aksara Batak pasti berkaitan dengan tata cara menulis, sumber tulisan, dan peninggalan tertulis masa lampau. Nah, pada bagian berikut akan dijelaskan secara lebih rinci mengenai bagaimana masyarakat Batak menulis menggunakan aksara tradisional mereka, dari bahan dan alat tulis yang digunakan, hingga sumber-sumber tulisan yang menjadi dasar pewarisan budaya tulis-menulis tersebut. Selain itu, peninggalan tertulis seperti pustaha (naskah kuno) juga menjadi bukti nyata eksistensi aksara Batak pada masa lalu.

1. Daerah Angkola Mandailing adalah daerah pertama penyebaran aksara batak

tondibatak.id Sumber: batakita

Sejarah aksara Batak dimulai dari daerah pedalaman Sumatra yang lama mendapat informasi dari luar. Daerah Angkola Mandailing adalah daerah pertama penyebaran aksara ini. Selanjutnya, aksara Batak menyebar ke arah utara tepatnya daerah Toba, Lalu, daerah Simalungun menyebar aksara Batak dengan cepat. Pakpak Dairi adalah daerah terakhir penyebaran aksara tersebut. Sedangkan, daerah Karo malah menjadi daerah yang kental penggunaan aksara Batak.


2. Media penyebarannya lewat kulit kayu, bambu dan tulang

tondibatak.id Sumber: idn times sumut

Media yang digunakan untuk menuliskan dan menyebarkan aksara Batak ini adalah melalui kulit kayu, bamboo ataupun tulang-tulang binatang yang sudah dibersihkan. Bambu atau tulang biasa digunakan untuk memberikan informasi kehidupan sehari-hari. Sedangkan, kulit kayu digunakan untuk hal yang lebih khusus lagi misalnya untuk keperluan catatan pemangku adat suku Batak.


3. Aksara batak digunakan untuk menuliskan pesan, ratapan, dan keperluan surat menyurat

tondibatak.id Sumber: wikipedia

Aksara batak digunakan untuk menuliskan pesan, ratapan, dan keperluan surat menyurat untuk komunikasi tertulis didalam masyarakat Batak. Ratapan yang dimaksud di sini adalah ratapan kematian yang selalu didengungkan jika ada yang meninggal dari keluarga suku Batak.Sumber tertulis tentang ratapan diperlukan untuk menyampaikan isi pesan yang harus disampaikan kepada generasi selanjutnya.Surat menyurat ditulis untuk menyampaikan pesan secara tertulis kepada seseorang yang jauh dari tempat tersebut.


4. Tulisan turun temurun berupa resep obat, cara menghilangkan kutukan, astrologi, cara pembuatan jimat

tondibatak.id Sumber: idn times sumut

Ringkasan atau catatan yang ditulis secara pribadi oleh pemuka Batak yaitu pendeta tentang ilmu perdukunan disebut catatan Pustaka. Catatan ini diturunkan secara garis keturunan yang mewarisi pemuka agama selanjutnya. Isi dari catatan ini berupa resep obat, cara menghilangkan kutukan, astrologi, cara pembuatan jimat dan berbagai ramalan yang dipercayai.


5. Belakangan sering disebut Laklak

tondibatak.id Sumber: idn times sumut

Aksara Batak ditulis secara tradisional di benda-benda yang mudah didapatkan. Benda yang digunakan di antaranya adalah bambu, tulang dan kulit-kulit kayu yang dibentuk seperti lembaran kertas yang tipis. Jika menulis pesan di batang bamboo, maka akan dilakukan dengan memberikan goresan-goresan kecil dengan menggunakan pisau.Setelah dicukur kemudian dibakar menggunakan jelaga untuk menampilkan pesan yang dituliskan. Penulisan menggunakan kulit kayu dimulai dengan pemotongan kulit kayu menjadi lembaran yang panjang sekitar 60 cm hingga ada yang 7 m sesuai dengan keperluan. Setelah itu dihaluskan yang disebut dengan laklak. Lembaran ini kemudian dilipat dan direkatkan kedua bagiannya sehingga bisa digunakan. Sejarah aksara Batak merupakan salah satu dari banyak kekayaan budaya yang dimiliki oleh Indonesia. Oleh karena itu, pemerintah harus berusaha melindungi dan mempertahankannya.

Sumber: Wikipedia, batakologi.id, idn times sumut & batakita